Sabtu, 16 Oktober 2010

Kutu Loncat Jeruk Asia Diaphorina citri

Oleh: I W. Mudita dan R.L. Natonis

A.  Apa Itu Kutu Loncat Jeruk Asia dan Mengapa Penting?
Kutu loncat jeruk Asia adalah serangga berukuran kecil, sebagai-mana jenis kutu-kutuan lain pada umumnya. Serangga jenis kutu ini mempunyai nama ilmiah Diaphorina citri dan termasuk famili Psyllidae dari ordo serangga Homoptera. Serangga ini diberi nama kutu loncat karena bila kutu dewasa terganggu maka akan meloncat dengan cepat. Nama jeruk diberikan karena tanaman yang diserang adalah terutama jeruk, sedangkan nama Asia ditambahkan untuk membedakannya dengan kutu loncat jeruk jenis lain, yaitu kutu loncat jeruk Afrika yang nama ilmiahnya adalah Trioza erytreae.
Kutu locat jeruk Asia menjadi penting karena berperan sebagai vektor bakteri Candidatus Liberibacter asiaticus, penyebab penyakit CVPD. Uraian mengenai penyakit ini dapat diperoleh pada brosur tersendiri. Sebagai vektor, kutu loncat jeruk Asia menularkan bakteri penyebab CVPD dari tanaman sehat ke tanaman lainnya sehingga tanaman yang mula-mula sehat kemudian menjadi sakit. Kutu dewasa mampu terbang aktif hanya dalam jarak yang dekat, tetapi dapat terbang pasif mengikuti angin menempuh jarak yang sangat jauh. Tanpa kemampuan sebagai vektor, serangga ini merupakan serangga hama yang tidak terlalu merusak.

B.   Bagaimana Mengenali Kutu Loncat Jeruk Asia?
Kutu loncat jeruk Asia berukuran kecil, panjang kutu dewasa hanya 3 sampai 4 mm. Sebagaimana serangga pada umumnya, kutu ini meng-alami metamorfosis (perubahan bentuk), tetapi metamorfosisnya tidak sempurna, yaitu dari telur menjadi nimfa dan kemudian langsung menjadi kutu dewasa (imago). Nimfa adalah serangga belum dewasa yang bentuk-nya tidak terlalu berbeda dengan serangga dewasa, berbeda dengan ulat yang bentuknya sangat berbeda dengan serangga dewasa, yaitu kupu-kupu atau ngengat. Untuk mengenalinya maka perlu diketahui ciri-ciri masing-masing, mulai dari telur, nimfa, sampai imago.
Telur berbentuk lonjong berwarna kuning terang, berukuran lebih kecil dari 0,25 mm, diletakkan pada ketiak daun pucuk yang belum membuka sempurna, terutama pada musim tanaman jeruk bertunas (Gb. 1). Telur menetas menjadi nimfa (Gb. 2) yang terdiri atas lima instar (tahap perkembangan). Kelima instar rupanya sama, tetapi ukurannya berbeda (Gb. 3). Nimfa berwarna oranye kekuningan, berukuran 0,25 sampai 1,7 mm, bergerak terus tetapi pelan, dan bila terganggu maka akan meninggi-kan bagian perutnya. Nimfa instar terakhir mempunyai calon sayap pada bagian punggungnya (Gb. 3 dan Gb. 4). Nimfa berbagai instar biasa ditemukan bergerombol pada pucuk (Gb. 4). Untuk membuang cairan lengket menjauh dari tubuhnya, nimfa kutu loncat jeruk Asia membentuk buluh berlilin (Gb. 5) yang biasanya terlepas dan bertebaran di permukaan daun yang berada di bawahnya.
Kutu dewasa atau imago mempunyai sayap sehingga mampu terbang. Imago berwarna cokelat gelap dengan loreng hitam (Gb. 6), hinggap dan menghisap cairan pada permukaan bawah daun (Gb. 7). Karena bentuk kepalanya yang berbentuk segitiga maka untuk menghisap, kutu ini harus mengangkat perutnya sehingga tampak menungging mem-bentuk sudut kurang lebih 45o terhadap permukaan daun. Bila merasa terganggu, kutu dewasa ini akan meloncat atau terbang dalam jarak dekat. 


Gb. 1. Telur pada pucuk
Gb. 2. Bentuk nimfa

Gb. 3. Perkembangan nimfa instar 1 sampai instar 5 yang serupa tetapi berbeda ukuran. Instar 1 (paling kiri) berukuran sangat kecil, sedangkan instar 5 (paling kanan) berukuran jauh lebih besar.


Gb. 4. Nimfa bermacam-macam instar bergerombol
Gb. 5. Buluh berlilin untuk membu-ang cairan lengket embun madu


Gb. 6. Kutu dewasa hinggap me-nungging dengan bagian kepala menempel dan pantat terangkat
Gb. 7. Kutu dewasa menggerombol di permukaan bawah daun muda pada tunas.
C.  Yang Mirip tapi Bukan Kutu Loncat Jeruk Asia
Pada tanaman jeruk dapat dijumpai beberapa jenis kutu sehing-ga untuk mengenali kutu loncat jeruk Asia perlu diketahui perbedaan-nya dengan jenis kutu lainnya. Ciri khas kutu loncat jeruk Asia adalah nimfa mengangkat perutnya bila diganggu, nimfa menghasilkan buluh berlilin untuk membuang cairan embun madu, dan imago hinggap dengan posisi menungging pada permukaan bawah daun. Tentu saja masih banyak ciri-ciri lainnya, yang terlalu teknis untuk diuraikan di sini, tetapi penting untuk identifikasi di laboratorium.
Jenis kutu lain yang juga terdapat pada jeruk dan dapat dikeliru-kan dengan kutu loncat jeruk Asia adalah kutu afis cokelat (Toxoptera citricida) (Gb. 1), kutu afis hitam (Toxoptera aurantii)(Gb. 2), kutu afis kapas (Aphis gossypii)(Gb. 3), kutu putih jeruk (Dialeurodes citri) (Gb. 4 dan Gb. 5), kutu putih sayap berawan (Dialeurodes citrifolii) (Gb. 6), kutu putih wool (Aleurothrixus floccosus)(Gb. 7), kutu hitam jeruk (Aleurocanthus woglumi)(Gb. 8), dan kutu putih biasa (Planococ-cus citri)(Gb. 9). Untuk membedakannya di lapangan, selalu perhatikan ciri-ciri khas kutu loncat jeruk Asia sebagaimana telah disebutkan di atas.




Gb. 1. Kutu afis cokelat
Gb. 2. Kutu afis hitam
Gb. 3. Kutu afis kapas



Gb. 4. Kutu putih jeruk
Gb. 5. Nimfa kutu putih jeruk
Gb. 6. Kutu putih sayap berawan



Gb. 7. Kutu putih wool
Gb. 8. Kutu hitam jeruk
Gb. 9. Kutu putih biasa

D.  Perkembangan Kutu Loncat Jeruk Asia
Kutu loncat jeruk Asia berkembang dengan cepat pada suhu 25 sampai 28oC, membutuhkan waktu hanya 13 sampai 19 hari dari telur sampai menjadi dewasa (telur menetas dalam 2 sampai 4 hari dan nimfa berlangsung selama 11 sampai 15 hari). Imago hidup selama beberapa bulan dan betina menghasilkan sekitar 800 telur. Bila tersedia pucuk jeruk secara terus menerus, kutu loncat jeruk Asua dapat mem-bentuk sampai 30 generasi dalam setahun. Akan tetapi, kemampuan kutu loncat jeruk Asia berkembang dipengaruhi oleh kelembaban, suhu, dan tanaman inang, khususnya ketersediaan pucuk sehingga jumlah generasi yang dihasilkannya biasanya lebih sedikit. Kutu loncat jeruk Asia tidak melakukan diapause (beristirahat berkembang), tetapi jumlahnya menjadi sangat berkurang bila tidak terdapat pucuk jeruk atau tanaman inang lain.
Kutu loncat Asia tidak dapat berkembang dengan baik pada bila udara sangat lembab maupun sangat kering. Pada udara yang sangat lembab, jamur akan mematikan sebagian besar nimfa. Sebaliknya, pada udara sangat kering nimfa akan mati karena kekurangan cairan. Kutu loncat jeruk Asia juga memerlukan udara hangat (antara 25 sampai 28oC), tetapi lebih toleran terhadap udara dingin daripada terhadap udara panas (masih bisa hidup pada suhu -5oC di Florida). Oleh karena itu, menganggap tanaman jeruk di dataran tinggi bebas dari kutu loncat jeruk Asia adalah sangat keliru. Mengenai tanaman inang, kutu loncat jeruk Asia hidup pada hampir semua jenis jeruk dan bahkan pada tanaman lain yang merupakan kerabat dekat jeruk (antara lain Citropsis schweinfurthii) maupun kerabat jauh jeruk (antara lain kemuning Murraya paniculata).

E.   Bagaimana Kutu Loncat Jeruk Asia Menularkan CVPD?
Kutu loncat jeruk Asia menularkan bakteri penyebab CVPD, Candidatus Liberibacter asiaticus, dari tanaman sakit ke tanaman sehat. Untuk dapat menularkan bakteri tersebut, kutu perlu menghisap cairan dari tanaman sakit selama 5 sampai 7 jam. Tahap perkembangan kutu yang dapat menularkan bakteri penyebab CVPD adalah nimfa instar 4 dan 5 serta kutu dewasa setelah 1 sampai 25 hari sejak selesai meng-hisap. Nimfa instar 4 dan 5 dapat mempertahankan bakteri yang ada di dalam tubuhnya sampai dewasa sehingga siap menularkan segera setelah mengalami pergantian kulit. Penularan bakteri ke tanaman sehat terjadi melalui saliva (cairan liur).
Kutu loncat jeruk Asia tidak dapat terbang aktif dalam jarak jauh sehingga tanaman yang paling berisiko tertular adalah tanaman sehat yang berada lebih dekat dari tanaman sakit. Oleh karena itu, sebaran tanaman sakit di lapangan cenderung mengelompok. Jangkau-an terbang efektif kutu ini perlu diketahui untuk pengambilan keputus-an pelaksanaan eradikasi. Di India, jarak 30 km dianggap aman, tetapi ti Vietnam tidak. Diperkirakan kutu loncat Asia dapat tertarik terbang lebih jauh pada siang hari yang cerah bila terdapat tanaman jeruk yang daunnya menguning karena berbagai sebab. Pada siang hari yang mendung, kutu ini tertarik terbang lebih jauh bila, oleh karena sebab tertertentu, tanaman jeruk mempunyai daun yang berwarna kuning kecokelatan.
Waktu yang diperlukan oleh kutu loncat jeruk Asia untuk me-nularkan penyakit CVPD berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Di Cina, kutu loncat jeruk Asia memerlukan waktu 5 tahun untuk me-ningkatkan jumlah tanaman sakit sebesar 14% dari semula berjumlah hanya 24 pohon. Diduga, penyakit CVPD yang ditularkan oleh kutu loncat jeruk Asia akan mencapai puncaknya setelah 2 sampai 4 tahun kemudian. Di tempat lainnya di Cina, tanaman sakit bertambah banyak 25% pada tahun kelima. Pada tahun ketujuh dan kedelapan tanaman menjadi tidak bernilai komersial lagi.

F.    Cara Lain Penularan CVPD
Selain dengan perantaraan kutu loncat jeruk Asia, bakteri pe-nyebab CVPD juga dapat menular melalui mata tempel yang diguna-kan untuk melakukan okulasi. Penularan melalui mata tempel terjadi bila mata tempel diambil dari tanaman sakit. Penularan melalui mata tempel bergantung pada ukuran mata tempel, cara penempelan, dan kemampuan bakteri menyebabkan penyakit. Mata tempel yang terdiri atas hanya bagian kulit batang dapat menimbulkan penyakit pada 50% dari bibit hasil okulasi, sedangkan mata tempel yang disertai dengan bagian berkayu dapat menimbulkan penyakit lebih banyak. Bila okulasi dilakukan dengan mata tempel dari tanaman induk sakit, dari 58% bibit yang hidup sampai pada umur 7 bulan, 20% di antaranya ternyata berpenyakit CVPD.
Mata tempel yang dapat menularkan CVPD bukan hanya yang diambil dari cabang yang menunjukkan gejala, tetapi juga yang diambil dari cabang yang tidak menunjukkan gejala pada pohon induk berpe-nyakit CVPD. Dalam waktu 3-9 bulan, persentase bibit hidup yang bergejala penyakit CVPD adalah 10 sampai 16% bila mata tempel diambil dari cabang tidak bergejala, tetapi persentase bibit bergejala penyakit meningkat menjadi 40% bila mata tempel diambil dari cabang bergejala dari pohon induk yang sama.
Penularan CVPD melalui mata tempel jauh lebih berbahaya daripada penularan dengan perantaraan vektor. Hal ini karena bibit yang ditangkarkan di dataran rendah dapat menularkan CVPD ke datar-an tinggi. Bibit lebih banyak ditangkarkan di dataran rendah karena dataran rendah cocok untuk pertumbuhan jeruk RL yang digunakan sebagai batang bawah. Selain memperoleh bakteri penyebab CVPD dari mata tempel, bibit yang ditangkarkan di dataran rendah juga dapat memperoleh bakteri CVPD melalui perantaan kutu loncat jeruk Asia, baik sebelum maupun setelah okulasi. Penularan melalui bibit bahkan menjadi semakin berbahaya bila untuk kepentingan bisnis anakan, keberadaan CVPD sengaja ditutup-tutupi.

Untuk memperoleh informasi lebih lengkap mengenai kutu loncat jeruk asia, silahkan menonton video berikut ini.

Tiny Insect Could Have Big Impact on California Citrus Industry


Detecting Asian Citrus Psyllid


How to Scout Asian Citrus Psyllids


Impact of Global Warming on Asian Citrus Psyllid


Exluding a Bad, Very Bad Citrus Pest

CVPD: Penyakit Mematikan dan Paling Merusak Bagi Jeruk

Oleh: I W. Mudita dan R.L. Natonis

A.     Apa Itu CVPD dan Mengapa Penting?
CVPD adalah nama penyakit jeruk, singkatan dari Citrus Vein Phloem Degeneration. Dalam bahasa Indonesia nama ini berarti kerusakan pembuluh floem tanaman jeruk. Di luar negeri penyakit ini dikenal dengan nama berbeda-beda di setiap negara. Nama CVPD sendiri, meskipun dalam bahasa Inggris, adalah nama yang digunakan di Indonesia. Nama resmi yang kini digunakan di seluruh dunia adalah huanglongbing, disingkat HLB, nama dalam bahasa Mandarin yang berarti pucuk menguning.
Pembuluh floem adalah pembuluh yang terdapat pada kulit batang, berfungsi untuk mengangkut bahan makanan, yang diolah tanaman pada daun, ke seluruh bagian tanaman. Jika pembuluh floem mengalami keru-sakan maka bahan makanan tertumpuk pada daun sehingga bagian lainnya mengalami kekurangan makanan. Akibatnya, pertumbuhan tanaman me-rana dan tanaman menjadi mati secara pelan-pelan tetapi pasti. Pembuluh floem mengalami kerusakan karena dijadikan tempat berkembang biak oleh bakteri Candidatus Liberibacter asiaticus, penyebab penyakit CVPD.
Penyakit ini merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh petani jeruk di seluruh dunia. Banyak pusat produksi jeruk di Indonesia telah dirusakkan oleh CVPD, demikian juga pusat produksi jeruk di negara-negara lain. Penyakit ini ditakuti karena mudah menular dan begitu tanaman terkena penyakit maka akhirnya pasti akan mati. Selama masih hidup tanaman memang masih dapat berproduksi, tetapi buah jeruk menjadi berkurang, bentuk buah menjadi tidak normal, ukuran buah menjadi lebih kecil, dan rasanya menjadi kecut.

B.      Bagaimana Tanaman Jeruk Bisa Terkena CVPD?
Tanaman jeruk dapat terkena CVPD melalui salah satu dari dua cara penularan CVPD. Pertama, CVPD dapat menular dengan perantaraan serangga kutu loncat jeruk Asia sebagai vektor. Mengenai kutu loncat jeruk Asia ini akan diuraikan pada brosur tersendiri. Kedua, melalui okulasi dengan menggunakan mata tempel yang diambil dari pohon induk berpenyakit CVPD.
Vektor adalah mahluk hidup yang tubuhnya mengandung bibit penyakit tanpa harus menjadi sakit, seperti nyamuk Anopeles yang tubuh-nya dapat mengandung plasmodium tanpa harus menjadi sakit malaria atau nyamuk Aedes yang tidak perlu khawatir terkena penyakit demam ber-darah dongue (DBD). Ketika kutu loncat jeruk Asia mengisap cairan dari pucuk tanaman berpenyakit CVPD, cairan yang mengandung bakteri penyebab CVPD masuk ke dalam tubuhnya. Cairan tersebut dapat dipin-dahkan ke tanaman sehat pada saat kutu loncat tersebut menghisap cairan dari tanaman sehat.

C.     Bagaimana Mengenali CVPD?
CPVD dapat dikenali dengan beberapa cara, dari cara yang seder-hana sampai cara yang canggih. Cara sederhana biasanya kurang teliti, tetapi biayanya murah dan bila dilakukan oleh orang yang berpengalaman, hasilnya bisa mendekati cara canggih yang biayanya mahal. Dua cara sederhana untuk mengenali CVPD adalah pengamatan gejala dan uji iodin. Pengamatan gejala adalah pengamatan yang dilakukan untuk melihat per-ubahan yang terjadi pada tanaman yang menderita CVPD, sedangkan uji iodin adalah uji yang dilakukan dengan meneteskan cairan iodium pada irisan daun yang diambil dari tanaman sakit.
CVPD menimbulkan beberapa gejala khas yang dapat digunakan untuk mengenali keberadaannya. Pada tanaman yang baru mulai menderita CVPD, salah satu cabangnya akan tampak menguning (Gb. 1). Daun pada cabang tersebut tampak berbelang-belang hijau-kuning secara tidak simetris antara bagian kanan dan kiri tulang daun utama (Gb. 2). Daun-daun kemudian akan mempunyai tulang daun yang lebih tebal dan ber-gabus, bagian daun menguning yang semakin mencakup seluruh permuka-an daun, serta daun menjadi lebih kaku, tumbuh lebih tegak, dan kadang-kadang berbentuk tidak normal (Gb. 3). Lama kelamaan, daun gugur dan cabang menjadi tumbuh meranggas, tanaman tampak tumbuh merana, sebelum akhirnya tanaman mati (Gb. 4).



Gb. 1. Pucuk dengan daun mengu-ning pada tanaman sakit
Gb. 4. Tanaman sakit tahap lanjut dengan cabang meranggas


Gb. 2. Daun dengan belang-belang hijau-kuning tidak simetris
Gb. 3. Daun dengan tulang daun menebal dan bentuk tidak normal

Gejala belang hijau-kuning pada daun mirip dengan gejala keku-rangan unsur hara dan gejala hama-penyakit lain. Namun bila dilakukan pengamatan dengan teliti maka akan ditemukan perbedaannya sebagai-mana tampak pada Gb. 5-Gb. 8. Mengingat hal ini, pengenalan penyakit CVPD dengan berdasarkan gejala sebaiknya tidak dilakukan terhadap tanaman yang sudah sakit parah dan tidak dilakukan pada musim kemarau ketika tanaman tidak dalam keadaan segar.



Gb. 5. Defisiensi Besi (Fe)
Gb. 6. Defisiensi Seng (Zn)


Gb. 7. Defisiensi Mangan (Mn)
Gb. 8. Defisiensi Magnesium (Mg)

Buah tanaman yang menderita CVPD berukuran lebih kecil dan berbentuk tidak normal (Gb. 9). Menjelang masak, buah menguning dari bagian pangkal (Gb. 10 dan Gb. 11), bukan dari bagian ujung sebagaimana seharusnya. Bila buah dibelah melalui bagian pangkal, tampak pembuluh berwarna cokelat muda (Gb. 12). Bila buah dibelah melintang, tampak biji yang kisut dan menghitam (Gb. 13).



Gb. 9. Buah berukuran dan berbentuk tidak normal
Gb. 10. Buah jeruk keprok menguning dari pangkal




Gb. 11. Buah jeruk manis menguning
Gb. 12. Pembuluh berwarna cokelat muda
Gb. 13. Biji kisut dan menghitam

Pada tanaman yang sudah sakit parah, gejala CVPD sangat sulit dapat dikenali. Untuk lebih memastikan tanaman menderita CPVD, dapat dilakukan uji sederhana yang dikenal dengan uji iodin. Untuk melakukan uji ini, terlebih dahulu perlu disiapkan larutan iodin dengan mencampurkan 1 bagian cairan iodium tinktur (obat merah Betadine tidak boleh digunakan) ke dalam 9 bagian air minum kemasan (1:9). Kemudian, diambil satu helai daun bergejala CVPD dan diiris seperti tampak pada Gb. 14. Irisan daun kemudian dicelupkan ke dalam larutan iodin selama 1,5 sampai 2 menit lalu diperhatikan perubahan warna yang terjadi pada bagian tepi irisan daun. Bila warna tepi irisan berubah menjadi biru gelap maka perubahan warna tersebut menandakan tanaman berpenyakit CVPD (Gb. 15), sebaliknya bila warna tidak berubah menandakan tanaman sehat (Gb. 16). Bila perubahan warna kurang jelas (Gb. 17), uji diulangi dengan membuat irisan baru dari daun lain sampai diperoleh hasil seperti pada Gb. 15 atau Gb. 16.





Gb. 14. Cara memotong daun untuk pelaksanaan uji iodin
Gb. 15. Tepi potongan daun berwar-na biru gelap bila berpenyakit CVPD


Gb. 16. Tepi potongan daun tidak berwarna biru gelap bila tidak ber-penyakit CVPD (sehat)
Gb. 17. Tepi potongan daun berwar-na biru gelap sebagian-sebagian, uji perlu diulang

Pengenalan CVPD dengan menggunakan gejala dan uji iodin memang tidak dapat memberikan hasil yang benar-benar akurat. Namun karena biayanya murah maka dapat dilakukan dalam jumlah banyak, di-bandingkan misalnya dengan uji canggih yang biayanya mahal. Mengingat tingkat akurasi uji iodin adalah 65% maka bila dari 100 pengujian ditemu-kan 80 hasil positif, setidak-tidaknya 52 pengujian adalah akurat. Untuk hasil yang benar-benar akurat dapat dilakukan uji PCR (polimerase chain reaction), tetapi uji ini hanya dapat dilakukan di laboratorium di luar NTT. Bukan tidak mungkin selama pengangkutan ke laboratorium sampel meng-alami kerusakan sehingga hasilnya juga dapat tidak benar-benar akurat.

Untuk memperoleh penjelasan lebih rinci mengenai penyakit CVPD, silahkan saksikan video berikut ini.


Florida Citrus Greening Information


USDA/APHIS


THE FATE OF CITRUS, PART 1


THE FATE OF CITRUS, PART 2


THE FATE OF CITRUS, PART 3


Daftar video mengenai HLB: Klik di SINI dan di SINI.

Jumat, 15 Oktober 2010

Bertani Selaras Alam untuk Menghindari CVPD



Bertani jeruk secara modern yang dianjurkan pemerintah mengharuskan penggunaan bibit okulasi dan pembudidayaan jeruk secara secara monokultur dengan jarak tanam teratur. Penggunaan bibit okulasi diperlukan untuk menjamin produksi dapat dicapai dalam waktu cepat dan kualitas hasil yang sesuai dengan baku mutu. Akan tetapi, introduksi teknologi produksi modern tersebut bukannya tidak menimbulkan masalah. Petani telah sangat lama terbiasa bertani secara tradisional dalam pola perladangan tebas bakar sehingga sulit dapat menerima teknologi pertanian intensif. Teknologi baru bukan tidak mungkin akan mengusik kedaulatan petani karena bibit okulasi harus dibeli dari pengusaha. Akan lebih celaka lagi kalau bibit yang diberi dari pengusaha tersebut ternyata tidak bebas dari OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan).

Seorang petani jeruk dari Desa Ajaobaki, katakanlah namanya Bapak Agus, menolak untuk berpartisipasi dalam program bertani jeruk secara modern tersebut. Alasan yang digunakan oleh Bapak Agus bukan seperti alasan di atas, melainkan alasan historis yang sebenarnya sangat masuk akal. Katanya, dahulu Bapak Agus sering mengikuti ayahnya berburu di kawasan hutan Gunung Mutis. Di dalam hutan Bapak Agus melihat berbagai jenis tumbuhan selalu tumbuh bersama-sama. Bahkan di kawasan hutan Gunung Mutis yang didominasi oleh pohon ampupu (Eucalyptus urophylla) Bapak Agus masih melihat jenis tumbuhan lain tumbuh bersama-sama dengan ampupu. Pengamatan yang dilakukan selama berada di dalam hutan mengajarkan kepada Bapak Agus bahwa dengan keadaan hutan seperti itu tidak pernah terjadi erosi dan mata air terus bertahan sepanjang tahun.

Maka ketika harus memulai bertani, Bapak Agus menerapkan pengalaman masa kecilnya berburu di hutan. Lahannya yang semula tandus bekas perladangan mulai ditanami dengan tanaman tahunan. Berbagai jenis pohon juga ditanamnya pada bagian-bagian tertentu dari kebunnya. Di sekitar rumah ditanam jeruk keprok soe bersama dengan jenis tanaman tertentu, umumnya yang tajuknya rendah dan perakarannya tidak dalam. Berbeda dengan program pemerintah yang mengharuskan menanam bibit okulasi, Bapak Agus justeru menanam jeruk dari biji. Alasannya, tanaman dari biji bisa tumbuh besar dan berumur panjang. "Jeruk keprok di rumah nenek saya masih hidup ketika nenek meninggal, padahal menurut nenek jeruk itu sudah ada sebelum nenek lahir".

Ketika ditanya bagaimana tanggapannya terhadap program jeruk pemerintah yang mengaruskan menanam bibit okulasi, Bapak Agus menjawab singkat, "Daripada saya harus melawan kata hati sendiri, saya memilih tidak ikut proyek. Dahulu saya ikut kelompok tani, tetapi karena sebagian anggota ingin ikut proyek maka saya putuskan keluar dari kelompok dan membentuk kelompok baru". Maka, Bapak Agus terus bertani jeruk secara selaras alam. Di bawah tajuk tanaman jeruknya terhampar tanaman talas yang tumbuh rapat. "Talas ini membantu tanah tetap lembab pada musim kemarau, tanah tidak tererosi pada musim hujan. Lagipula, talas menghasilkan umbi untuk dimakan dan sebagian untuk makanan babi".

Bapak Agus tidak mengerti apa itu CVPD. Bukan karena tidak pintar, tetapi karena pemerintah yang seharusnya memberitahu justeru tidak melakukannya. Pemerintah tidak pernah memberikan penyuluhan mengenai CVPD karena penyakit ini dinyatakan tidak ada di NTT. Karena dinyatakan tidak ada maka tidak mungkin mendapat anggaran untuk memberikan penyuluhan. Ibaratnya orang miskin, tidak mungkin mendapat RASKIN atau BLT bila tidak terdaftar sebagai penduduk. CVPD tidak mungkin memperoleh anggaran pengendalian sebelum dinyatakan ada. Tetapi bagi CVPD sendiri, diterima atau tidak bahwa dia ada, bukanlah terlalu menjadi masalah. Bagi CVPD sendiri, tidak diakui keberadaannya justeru lebih menguntungkan karena dengan demikian maka tidak dikendalikan. Dengan begitu maka CVPD dapat menular dan menyebar diam-diam.

Tanamn jeruk Bapak Agus tidak satupun ada yang menunjukkan gejala CVPD, meskipun bukan berarti sama sekali bebas penyakit. Karena lembab, diplodia basah menjadi masalah. Tidak menunjukkan gejala CVPD memang bukan berarti bebas CVPD, tetapi setidak-tidanya ini masih lebih baik daripada jeruk tetangganya yang ditanam dari bibit okulasi. Mengapa ini bisa terjadi? CVPD menular melalui dua cara, dengan perantaraan kutu loncat jeruk sebagai vektor dan dengan perantaraan mata tempel yang, siapa tahu, karena kurangnya pengawasan dapat saja diambil dari pohon induk berpenyakit CVPD. Kebun Bapak Agus terletak di dataran tinggi sehingga suhu udaranya di luar kisaran suhu untuk perkembangan kutu loncat jeruk. Karena itu, penularan CVPD yang paling mungkin adalah melalui mata tempel yang pembibitannya dilakukan di tempat dengan ketinggian lebih rendah. Bertani jeruk keprok secara selaras alam dengan menggunakan biji ternyata tidak seluruhnya jelek karena ternyata dapat mengurangi risiko tanaman tertular CVPD.

Kamis, 14 Oktober 2010

Menurut pemerintah, bibit JKS telah diawasi dengan ketat. Bagaimana dengan bibit ini, apakah benar-benar bebas CVPD?



Menurut Kepala Dinas Pertanian Kabupaten TTS, bibit JKS telah diawasi dengan ketat sehingga tidak mungkin beredar bibit berpenyakit, apalagi berpenyakit CVPD. Kata Kepala Dinas, kalau ada orang yang mengatakan jeruk keprok soe berpenyakit CVPD, termasuk bibitnya, berarti itu melanggar perda.Katanya, untuk menegakkan perda, upaya telah dilakukan dengan sekuat tenaga untuk mencegah masuknya bibit jeruk dari luar. Sungguh ini merupakan upaya yang sangat luar biasa. Hanya saja, persoalannya kemudian adalah sejak kapan perda diberlakukan dan kapan pengawasan benar-benar telah dilakukan dengan ketat? Bukan tidak mungkin, CVPD sebenarnya sudah ada jauh sebelum diberlakukan perda. Dan bukan tidak mungkin pula, setelah ada perda, pengawasan hanya dilakukan sewaktu-waktu saja.

Atau, bagaimana bila yang melakukan pengawasan tidak mengetahui gejala CVPD? Bagaimana petugas yang tidak mengetahui gejala CVPD dapat melakukan pengawasan untuk menjamin bibit jeruk keprok soe bebas CVPD? Kata Kepala Dinas, CVPD hanya dapat dipastikan oleh para pakar yang berkompeten dari Balitjes Tlekung, Malang. Nah, di sinilah kemudian justeru duduk persoalannya. Karena hanya pakar dari Malang yang dipandang berkompeten untuk memastikan keberadaan CVPD maka petugas lapangan kemudian menjadi tidak berani mengambil keputusan. Keputusan baru bisa diambil pada saat pakar datang. Sementara itu, produksi bibit terus berlangsung, terlepas dari pengawasan para pakar.

Lebih dari itu, pembibitan adalah lahan bisnis yang menguntungkan. Jauh lebih menguntungkan daripada produksi buah jeruk keprok soe itu sendiri. Bagaimana tidak? Penangkar ada yang berijin, ada pula yang tidak. Harga bibit menurut perda ditetapkan Rp 5.000,- per bibit. Tetapi harga itu bukan di tingkat penangkar, melainkan di tingkat pengusaha yang memenangkan tender pengadaan bibit. Pada tingkat penangkar, jauh lebih murah, apalagi pada penangkar tidak berijin. Seorang penangkar berijin mengatakan bahwa pada tingkat penangkar harga bibit dapat mencapai hanya Rp 1.500,- per bibit. Dapat dibayangkan, pada penangkar tidak berijin tentu harganya lebih murah lagi. Pengusaha memperoleh selisih harga yang jauh lebih besar tanpa perlu repot.

Rabu, 13 Oktober 2010

Kata Kadis Pertanian Kabupaten TTS, JKS Bebas CVPD. Bagaimana dengan tanaman jeruk di kebun milik Bpk Frans Nitsae ini?

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten TTS menolak dengan tegas bahwa tanaman jeruk keprok soe di Kabupaten TTS telah terkena penyakit CVPD. Kalau begitu, bagaimana dengan tanaman di kebun Bapak Frans Nitsae, Soe, Kabupaten TTS, sebagaimana tampak pada tayangan slide di atas?

Menurut Kepala Dinas, CVPD tidak dapat ditentukan oleh sembarang orang, hanya oleh orang yang berkompeten, yaitu para pakar dari Balitjes di Tlekung, Malang. Apakah orang yang bukan berasal dari Balitjes berarti semuanya tidak berkompeten mengenai CVPD? J.M. Bove, profesor emeritus mikrobiologi dari University of Bordeaux 2 and INRA, Perancis, bukan orang dari Balitjes. Bandingkan foto-foto gejala CVPD dalam tulisannya dan juga pada slide di bawah ini dengan foto tanaman jeruk keprok soe pada slide di atas.



Silahkan menyimpulkan sendiri, tidak perlu khawatir dianggap tidak berkompeten oleh Kepala Dinas. Sekedar informasi tambahan, di luar negeri CVPD sekarang dikenal dengan nama huanglongbing, dahulu dengan nama citrus greening. Berikut adalah video mengenai CVPD dari Florida Citrus Greening Information Center.

Juga saksikan video berikut ini:

Senin, 11 Oktober 2010

Sumber Informasi Alternatif

Citrus Biosecurity (Ketahanan Hayati Jeruk) menayangkan informasi alternatif mengenai ketahanan hayati jeruk di Timor Barat, khususnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Timor Tengah Utara (TTU). Tayangan ini diharapkan menjadi alternatif terhadap informasi yang selama ini disampaikan oleh pemerintah bahwa jeruk di kedua kabupaten tersebut, khususnya jeruk keprok soe, bebas dari penyakit berbahaya seperti CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration) dan tristeza. Satu-satunya OPT yang diakui keberadaannya adalah jamur diplodia (Botrodiplodia theobromeae), penyebab penyakit diplodia basah dan diplodia kering.

Informasi alternatif ini ditayangkan untuk menjamin hak masyarakat memperoleh informasi yang dijamin oleh undang-undang. Informasi alternatif ini juga ditayangkan sesuai dengan prinsip yang diusung oleh lembaga internasional sekaliber FAO bahwa komunikasi merupakan satu di antara pilar ketahanan hayati. Dengan informasi alternatif ini diharapkan semua pihak menyadari bahwa pada era keterbukaan ini informasi tidak lagi menjadi monopoli satu pihak, tetapi dapat datang dari mana saja, lebih-lebih dari pihak yang memperoleh informasi melalui penelitian dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Informasi alternatif yang ditayangkan di sini bersumber dari penelitian mahasiswa, mulai dari mahasiswa S1, S2, dan S3. Selain itu juga ditayangkan informasi hasil penelitian yang dilakukan oleh para dosen perguruan tinggi. Informasi ditayangkan dalam bentuk tulisan populer disertai dengan tautan (link) untuk mengakses informasi dalam bentuk tulisan yang lebih teknis. Tautan juga diberikan untuk menelusuri informasi dari sumber-sumber lain sebagai bahan perbandingan.

Penayangan informasi alternatif mengenai ketahanan hayati jeruk ini dilakukan bukan untuk melawan pihak manapun. Sebagai alternatif, informasi yang disajikan di sini diharapkan justeru untuk memperkaya informasi yang selama ini telah diberikan oleh pemerintah dan pihak-pihak lainnya. Dengan demikian, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan strategi pengelolaan ketahanan hayati jeruk yang lebih menyentuh kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain, penayangan informasi alternatif ini sama sekali bukan dimaksudkan untuk menggagalkan upaya pemerintah untuk mengembangkan jeruk sebagai tanaman unggulan, justeru sebaliknya, untuk ikut berpartisipasi mendukung dengan cara yang kritis.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India