Kami menyampaikan permohonan maaf atas kekurangnyamanan ini.
Jumat, 06 Januari 2012
Pengalihan URL Blog
Kami menyampaikan permohonan maaf atas kekurangnyamanan ini.
Minggu, 18 September 2011
Mendampingi Kunjungan Prof. Siti Subandiyah, Pakar CVPD dari UGM, untuk Melihat Keadaan Jeruk di Timor Barat
Perjalanan dilanjutkan menuju Kabupaten TTU dengan menempuh jalur Kapan-Eban. Ketika melewati Desa Tobu saya menceritakan bahwa desa itu dianggap sebagai asal JKS. "Ceritanya bagaimana?", rupanya beliau belum sempat membaca sejarah jeruk keprok menurut versi pemerintah. Konon katanya, jeruk keprok yang sekarang diberi nama JKS itu dibawa oleh orang Cina dan diberikan kepada "usif" sebagai hadiah agar mereka diperkenankan membeli kayu cendana. Setelah memakan buahnya dan ternyata enak maka usif menyuruh rakyatnya menanam biji yang dikumpulkannya. Tapi menurut Dr. Hendrik Ataupah, seorang antropologiwan terkemuka mengenai Timor, kata usif tidak sela|u berarti raja. Dan kalau memang yang dimaksud di sini adalah raja maka seharusnya tidak di Tobu sebab Tobu bukan pusat pemerintahan kerajaan pada abad XV ketika perdagangan cendana marak di Timor. "Begitu toh?", kata beliau. Saya bilang, itu versi pemerintah, sedangkan versi masyarakat tidak selalu sama.
Sampai di Eban hari sudah sore. Ketika berkunjung di satu rumah dan menemukan pohon jeruk meranggas beliau bertanya, "Apakah ini keprok soe?" Tuan rumah, yang kebetulan seorang mantan Kepala Desa, dengan cepat menjawab, "Bukan Ibu, itu lemon cina". "Lho katanya lemon cina itu sama dengan keprok soe?". Tuan rumah dengan ramah menjelaskan, "Itu kalau di TTS, kalau di sini kami sebut lemon cina saja. Soe itu ada di TTS, bukan di TTU, maka kami lebih suka pakai nama lemon cina saja". Beliau tampak agak kurang percaya, mungkin dalam pikiran beliau bertanya-tanya, apalah arti sebuah nama. "Maaf Ibu, bagi orang kecil nama itu bisa punya banyak arti", bisik saya dalam hati.
Dalam perjalanan pulang kembali dari Kefamenanu kami menyempatkan datang berkunjung ke kebun dinas milik Pemerintah Kabupaten TTS. Kami menunggu cukup lama karena kepala kebun sedang tidak di tempat. Pada akhirnya kami diterima. Prof. Siti Subandiyah terkaget-kaget melihat keadaan rumah kasa blok fondasi dan BPMT di sana yang ternyata kasanya sudah porak poranda.
Ketika melihat-lihat tanaman jeruk beliau bertanya kepada saya, apakah pohon jeruk di kebun bibit itu positif CVPD atau tidak. Saya pura-pura tidak mendengar pertanyaan beliau. Tai beliau terus saja bertanya, "Apakah di sini Pak Wayan menemukan Diaphorina?" Saya jawab dengan suara agak keras, "Tidak Ibu, tidak ada Diaphorina di sini". Tapi tiba-tiba saja beliau berteriak, "Lho ini apa, ini 'kan Diaphorina?" Beliau menunjuk ke arah pucuk tanaman jeruk yang beliau amati dan di sana memang bertengger imago Diaphorina. Mau apa lagi, kepala kebun pun dengan halus memberikan kami wejangan bahwa kalau berkunjung ke kebun dinas kami seharusnya minta ijin dahulu ke dinas dan diantar oleh orang dinas. Lalu kami secara harus dininta meninggalkan kebun dinas dengan alasan bahwa kepala kebun sedang sibuk dengan banyak pekerjaan.
Dalam perjalanan saya jelaskan kepada Prof. Siti Subandiyah mengapa saya tidak menjawab ketika beliau menanyakan apakah pohon JKS di kebun bibit tadi positif CVPD atau tidak. Saya juga jelaskan kenapa saya menjawab tidak ada ketika beliau menanyakan keberadaan Diaphorina citri. Sebab saya melihat kepala kebun sudah menunjukkan tanda-tanda tidak menerima kami dengan senang hati. Sebab yang berwenang menyatakan CVPD ada atau tidak, Diaphorina citri ada atau tidak hanyalah Kepala Dinas. Saya sampaikan kepada Prof. Siti Subandiah, "Ibu boleh seorang pakar CVPD, tetapi di sini yang berwenang adalah Kepala Dinas. Knowledge is no longer power, but power is knowledge. Maaf Ibu, di sini yang paling pintar itu bukan guru besar, tetapi pejabat". Lantas kami pun pulang, masing-masing dengan berdiam diri. Entah apa yang beliau pikirkan, tetapi saya terlalu lelah untuk memikirkan pejabat semacam ini. Saya pun tertidur.
I W. Mudita (2011)
Rabu, 17 Agustus 2011
New Book: Managing Biosecurity Across Border
Regarding this book, Prof. Stephen Lansing of the University of Arizona said:
Just to the north of Australia lie the islands of Wallacea, one of the world’s great biogeographical frontier zones. In this fascinating book, a multi-disciplinary team of Australian and Indonesian researchers reflect on the challenge of managing invasive species, pathogens and other threats across borders both geographic and disciplinary. Frontier zones often bring forth exciting innovations, and the authors have risen to the challenge with broad and incisive analyses ranging from plant pathology to gender, community empowerment and cross-cultural understanding. The whole is much greater than the sum of the parts, thanks to the commitment of the authors of case studies to engage in ongoing meta-analyses of the big questions that emerge at the borders of their disciplines.
One chapter in this book, Chapter 4, deals with HLB (CVPD) in West Timor, written by I Wayan Mudita, who for the last three years has intensively done field work in the region. The following is the title and abstract of Chapter 4:
Crossing the Community-Government Border: The Case of Citrus Biosecurity Management in West Timor, Indonesia
Huanglongbing (HLB) is currently threatening citrus biosecurity in West Timor, Indonesia, but the local governments retain their position that law has been enacted and efforts have been made in the best way possible to prevent incursions. In the case of research findings discussed in this chapter, local communities are in fact aware of threats posed by HLB and because the disease is graft transmissible, urge local governments to stop distributing grafted seedlings as part of planting area extension and intensified cultivation programme. However, local governments refuse, arguing that propagation of grafted seedlings by commercial nurseries makes inspection more manageable and the distribution programme will encourage growers to plant disease-free seedlings. In fact, the local governments lack the capability to strictly enforce the supervision and the ability in ‘listening’ to community voices. These prevent the local governments from being able to cope with citrus decline in the region regardless of years of efforts that have been made to extend planting areas and intensify citrus cultivation. The unwillingness of the local governments to communicate the problem with local communities has create an unseen social border that prevents local communities from being able to access the necessary information and from using their local knowledge to effectively deal with the incursion. To benefit the local communities, an alternative approach to citrus biosecurity management is discussed. The approach requires the local governments to acknowledge the presence of the disease and to adopt a policy that encourages all stakeholders, including local universities and the local office of the central quarantine agency, to participate in an effort to develop a management programme that is not only scientifically sound but also socially acceptable.
Download PDF (729.3 KB) | View HTML | Permisions and Reprints | Look Inside
Jumat, 15 Juli 2011
Jeruk Keprok Soe: Penderitaan Dalam Gelimang Proyek (Bagian 2)
Lalu bagaimana dengan bibit okulasi yang katanya juga sudah diawasi dengan amat sangat ketat? Mari kita lihat mulai dari fasilitas BPMT yang tersedia, pohon induk populasi berlabel (berpeneng) yang dimiliki penangkar resmi, bibit yang ada di penangkaran, baik penangkar pemerintah maupun swasta, dan kemudian bibit berlabel yang didistribusikan ke desa-desa. Mungkin JKS memang telah benar-benar diawasi.