Selasa, 21 Juni 2011

Faktor Lingkungan dalam Segitiga Penyakit, Bukan Hanya Lingkungan Fisik

Ketika mempelajari Ilmu Penyakit tumbuhan kita diajar bahwa perkembangan penyakit tumbuhan ditentukan oleh interaksi tiga faktor, yaitu patogen (penyebab penyakit), tanaman inang, dan faktor lingkungn. Agar suatu penyakit dapat berkembang maka harus ada patogen yang virulen (bisa menimbulkan penyakit), tanaman inang yang rentan (mudah menjadi sakit), dan lingkungan yang mendukung (memungkinkan patogen menimbulkan penyakit dan memungkinkan tanaman menjadi sakit). Interaksi ketiga faktor tersebut biasa disebut segitiga penyakit. Di antara ketiga faktor tersebut, tidak ada yang lebih penting atau kurang penting, sebab kalau salah satu tidak tersedia maka penyakit tidak akan berkembang.

Ketika mempelajari pengaruh lingkungan terhadap perkembangan penyakit, yang selama ini kita dapat dari mengikuti kuliah dosen atau dari membaca buku teks dan jurnal adalah lingkungan fisik. Suhu adalah lingkungan fisik yang paling umum dijelaskan pengaruhnya terhadap perkembangan penyakit tumbuhan. Pengaruh suhu bersifat kardinal, artinya penyakit berkembang dalam kisaran suhu minimum dan maksimum tertentu dan menjadi optimal pada suhu tertentu dalam kisaran tersebut. Faktor kedua yang juga banyak dijelaskan pengaruhnya adalah kelembaban udara dan kebasahan permukaan daun. Banyak yang mengira bahwa penyakit sangat dipengaruhi perkembangannya oleh kelembaban udara, padahal untuk penyakit-penyakit yang disebabkan oleh jamur yang lebih menentukan adalah periode kebasahan daun. Selain lingkungan fisik, juga dapat diperoleh penjelasan mengenai lingkungan hayati, misalnya pengaruh mikroba parasitik dan antagonistik. Dalam mempelajari pengaruh faktor lingkungan, jarang dapat diperoleh penjelasan mengenai pengaruh faktor lingkungan sosial, padahal lingkungan sosial adalah juga bagian dari faktor lingkungan. Padahal, tidak mungkin ada budidaya tanaman kalau tidak ada campur tangan manusia.

Sebagaimana halnya dengan lingkungan fisik dan lingkungan hayati, pengaruh lingkungan sosial sebenarnya juga sangat menentukan. Hal ini dapat terjadi karena pertama-tama pemerintah mempunyai wewenang menentukan kebijakan perlindungan tanaman, termasuk pengendalian penyakit tanaman. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, kebijakan tidak hanya dibuat oleh pemerintah pusat, tetapi juga oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Karena itu, bukan tidak mungkin kebijakan yang dibuat oleh hierarki pemerintahan yang berbeda tersebut dapat saling berbenturan satu sama lain. Ambil saja contoh kebijakan mengenai penyakit CVPD pada jeruk. Pemerintah pusat sangat berkepentingan untuk membatasi pemencaran penyakit ini melalui penerapan kebijakan yang ketat dalam hal perbenihan jeruk dan karantina tanaman. Akan tetapi, dengan keinginan untuk menjadikan kultivar (varietas budidaya) jeruk lokal sebagai unggulan, pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dapat membuat kebijakan yang berbeda, di antaranya dengan membuat kebijakan satu pintu bahwa yang boleh menentukan CVPD itu ada atau tidak hanyalah pemerintah provinsi atau kabupaten/kota yang bersangkutan. Dalam kebijakan satu pintu ini bahkan uji laboratorium untuk memastikan keberadaan CVPD, misalnya uji PCR (Polymerase Chain Reaction), harus dilakukan di laboratorium yang direkomendasikan pemerintah, bukan di laboratorium yang independen.

Sepanjang pemerintah provinsi atau kabupaten/kota yang bersangkutan menyatakan bahwa jeruk yang ada di daerahnya bebas CVPD maka pihak lain yang menyatakan bahwa CVPD sudah ada diposisikan sebagai pihak "oposisi" yang tidak berkompeten. CVPD yang tidak diakui keberadaannya tersebut, ibaratnya orang miskin, kalau tidak mempunyai KTP maka tidak akan memperoleh bantuan RASKIN maupun BLT. Sebagaimana halnya orang miskin yang tidak mempunyai KTP, CVPD yang tidak diakui pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tersebut bukan berarti memang benar-benar tidak ada. Berbeda dengan orang miskin yang tidak memperoleh RASKIN atau BLT karena tidak mempunyai KTP, yang harus menempuh berbagai cara untuk melangsungkan hidup, CVPD yang tidak diakui pemerintah justeru dapat berkembang lebih leluasa. Mengapa demikian? Karena dengan tidak mengakui keberadaan CVPD maka bibit jeruk dari wilayah dengan keberadaan CVPD yang tidak diakui pemerintah setempat tersebut menjadi legal untuk disebarkan ke mana-mana. Karena dengan tidak mengakui keberadaan CVPD maka pemerintah provinsi atau kabupaten/kota yang bersangkutan menjadi merasa tidak harus memberikan penyuluhan mengenai CVPD. Karena petani dan penangkar bibit tidak pernah mendapat penyuluhan mengenai CVPD maka mereka tidak tahu CVPD itu apa dan bagaimana bahayanya.

Lalu apa sebenarnya untungnya pemerintah provinsi atau kabupaten/kota tidak bersedia mengakui keberadaan CVPD? Pertama, tentu saja karena tidak mau dikatakan gagal. Sebab kalau sampai dikatakan gagal, ikutannya akan sangat banyak. Justeru, ikutannya ini yang kemudian menjadi faktor yang lebih menentukan. Proyek pengembangan jeruk yang didanai pemerintah pusat mungkin akan dihentikan. Kalau proyek dihentikan maka perjalanan dinas untuk konsultasi ke Jakarta menjadi tidak ada, honor proyek menjadi tidak ada, dan yang lebih mengkhawatirkan, omzet pekerjaan sampingan sebagai maklar bibit menjadi berkurang. Jangan dikira pekerjaan sebagai maklar bibit ini tidak menggiurkan. Bayangkan saja berapa keuntungan yang dapat diperoleh bila membeli bibit dari penangkar dengan harga Rp 1.500 dan kemudian menjualnya ke proyek dengan harga Rp 5.000,- dari ratusan ribu bibit yang diperlukan proyek setiap tahunnya. Lalu bagaimana dengan risiko menularkan penyakit sehingga menyebabkan tanaman jeruk petani hancur? Itu mudah saja, salahkan saja petani sebagai pihak yang bodoh dan pemalas; tidak mau memelihara tanaman yang bibitnya sudah dibagikan pemerintah dengan gratis. Bukan salahnya petani kalau bibit yang dibagikan sebenarnya sudah mengandung penyakit. Siapa bilang mengandung penyakit? Menurut pemerintah setempat, yang boleh mengatakan CVPD itu ada atau tidak hanyalah pemerintah. Menurut petani dan penangkar, pemerintah harus diikuti karena para petugasnya semuanya adalah orang pintar. Maka lengkap sudah, tatakelola pemerintahan (governance) hanya manis ketika ada pelatihan oleh LSM, setelah itu tetap saja tidak ada yang berubah. Pemerintah bukannya menjadi semakin mendengarkan dan melayani sebagaimana diamanatkan dalam tatakelola pemerintahan yang baik (good governance), malahan menjadi semakin ingin didengarkan dan dilayani oleh masyarakat.

Maka, mempelajari segitiga penyakit tidak cukup hanya dengan mempelajari pengaruh lingkungan fisik dan lingkungan hayati. Lingkungan sosial juga bukan tidak kalah rumitnya dalam mempengaruhi perkembangan penyakit.


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India