Ketika menghadiri 3rd Small Island Biosecurity Workshop pada 19 Mei 2011, sahabat saya dari Unpatti, Dr. Wardis Girsang, menyampaikan kepada saya bahwa di Provinsi Maluku masih banyak pihak yang belum begitu paham mengenai kaitan antara ketahanan hayati (biosecurity) dengan PHT (Pengendalian Hama Terpadu). Apakah ketahanan hayati dan PHT itu sama atau berbeda? Bila sama di mana samanya dan bila berbeda di mana bedanya? Bagi saya pertanyaan ini bukan hal yang mengagetkan. Ketahanan hayati hayati sebenarnya merupakan konsep yang masih relatif baru. Dan karena merupakan konsep baru maka wajar, bahkan sangat wajar, bila masih banyak pihak belum memahami betul apa itu sebenarnya ketahanan hayati. Karena itu pula, wajar bila banyak pihak belum dapat membedakan ketahanan hayati dengan PHT. Selain itu, definisi berbeda-beda yang diberikan terhadap konsep ketahanan hayati oleh berbagai pakar dan institusi, menambah kerumitan dalam memahami ketahanan hayati dan karena itu, dalam membedakan ketahanan hayati dari PHT.
Pemerintah Australia (2007) mendefinisikan ketahanan hayati sebagai “perlindungan terhadap ekonomi dan kesehatan manusia dari dampak negatif yang disebabkan oleh hama, penyakit, maupun gulma”. Pada pihak lain, FAO (2007) mendefinisikan ketahanan hayati sebagai “pendekatan holistik dan strategis yang mencakup kerangka kebijakan dan perundang-undangan yang diperlukan untuk menganalisis risiko pada sektor-sektor pangan, kehidupan dan kesehatan ternak, termasuk risiko lingkungan yang terkait. Ketahanan hayati mencakup introduksi hama tanaman, hama dan penyakit ternak, zoonosis, introduksi dan pelepasan organisme termodifikasi secara genetik berikut produknya, serta introduksi dan pengelolaan spesies dan genotipe asing invasif.” Kedua definisi ini sepintas memang dapat dengan mudah menyebabkan orang, lebih-lebih oleh rekan-rekan pakar dan praktisi di bidang hama dan penyakit tumbuhan, memahami ketahanan hayati di seputar hama dan penyakit tumbuhan, atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang, di seputar organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Hal ini memang tidak begitu keliru, tetapi juga sekaligus kurang tepat, lebih-lebih lagi bila disetarakan dengan PHT.
Selama ini, suatu organisme baru ditetapkan sebagai organisme berbahaya bila organisme tersebut sudah ada dan menimbulkan kerusakan di suatu wilayah. Organisme berbahaya tersebut, dalam konteks perlindungan tanaman atau PHT disebut hama (OPT), dalam konteks kesehatan ternak disebut kuman penyebab penyakit ternak, dalam konteks kesehatan manusia disebut kuman penyebab penyakit, dalam konteks lingkungan hidup disebut spesies asing invasif (invasive alien species). Jelas bahwa, dari aspek sektor pembangunan, ketahanan hayati mempunyai cakupan sektor yang jauh lebih luas dari cakupan perlindungan tanaman. Dalam definisi FAO (2007), cakupan sektor yang luas tersebut diintegrasikan melalui konsep risiko (risk) yang ditimbulkan oleh bahaya yang ditimbulkan oleh jenis-jenis mahluk hidup tertentu. FAO (2007) menggunakan istilah analisis risiko (risk analysis) sebagai benang merah untuk mengintegrasikan berbagai sektor risiko melalui penilaian, pengelolaan, dan pengkomunikasian risiko (risk assessment, management, and communication). Integrasi tersebut terutama dilakukan melalui kerangka kebijakan (policy) dan perundang-undangan (legal).
Dalam PHT, keputusan pengendalian organisme didasarkan atas hasil pemantauan agro-ekosistem. Artinya, organisme yang yang akan dikendalikan harus sudah ada terlebih dahulu sebelum diambil keputusan untuk melakukan pengendalian. Hal ini berbeda dengan ketahanan hayati. Dalam ketahanan hayati dikenal kesinambungan (continuum) penanganan organisme berbahaya yang mencakup penanganan pra-batas (pre-border), pada batas (border), dan pasca-batas (post-border). Arinya, kalau organisme berbahaya tersebut adalah hama maka penanganan dilakukan pada tahap sebelum masuk, pada saat masuk, setelah masuk ke dalam agro-ekosistem, bukan hanya menunggu setelah hama tersebut masuk dahulu ke dalam agroekosistem sebagaimana yang terjadi dalam PHT. Dengan demikian, ketahanan hayati bersifat proaktif sedangkan PHT bersifat reaktif. Ketahanan hayati bersifat proaktif bukan hanya dalam menghadapi bahaya hama (OPT), tetapi juga organisme pengganggu lainnya (kuman penyakit hewan dan manusia, spesies asing invasif, dsb.).
Pendek kata, PHT merupakan sistem perlindungan tanaman dari gangguan OPT, sedangkan ketahanan hayati merupakan sistem perlindungan perekonomian dan masa depan dengan cara menjaga kesehatan tanaman, ternak, manusia, dan lingkungan hidup dari gangguan organisme pengganggu. Dalam ketahanan hayati, upaya menjaga kesehatan tanaman, ternak, manusia dan lingkungan hidup tersebut dilakukan secara terpadu dan dalam kesinambungan pra-batas, batas, dan pasca-batas. Dalam PHT, upaya dilakukan hanya untuk menjaga kesehatan tanaman dan lingkungan hidup dari pencemaran pestisida, bukan dari gangguan spesies asing invasif. Juga, dalam ketahanan hayati upaya menjaga kesehatan tersebut tidak hanya dilakukan secara teknis, tetapi juga secara sosial ekonomi, sosial-politik, dan sosial-budaya. Menyitir apa yang pernah disampaikan oleh Prof. Ian Falk (2008), dalam ketahanan hayati upaya menjaga kesehatan secara teknis memang penting, tetapi jauh dari cukup. Atau, sebagaimana dikemukakan oleh seorang pakar ekologi manusia dari Rutgers University, AS, Prof. Andrew P. Vayda (2009), karena terlalu terpaku pada kerumitan interaksi antar komponen ekosistem, kita lupa betapa sebenarnya jauh lebih rumit interaksi antar manusia, antara masyarakat dengan pemerintah, antara negara berkembang dan negara maju.
Lalu apa kesamaan ketahanan hayati dan PHT? Keduanya berkaitan untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh organisme yang merugikan. Dalam kaitan ini, PHT diperuntukkan khusus untuk menghadapi organisme merugikan pada sektor pertanian setelah organisme tersebut masuk ke dalam suatu kawasan agroekosistem. Oleh karena itu, PHT bersifat reaktif, sedangkan ketahanan hayati bersifat proaktif. Mengapa ketahanan hayati dikatakan proaktif? Karena dengan ketahanan hayati organisme merugikan harus sudah diperhatikan sejak masih di luar batas (prabatas) dan ketika memasuki batas. Di dunia yang semakin mengglobal, kita tidak dapat lagi menunggu sampai terjadi ledakan OPT untuk mengambil tindakan. Kita tidak lagi dapat menunggu sampai hasil pemantauan agroekosistem telah menunjukkan padat populasi OPT telah mencapai ambang ekonomi untuk mengambil tindakan. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. John Lovett dari CRCNPB, Australia, di dunia yang telah sedemikian mengglobal, batas-batas alam tidak lagi merupakan penghalang yang ampuh untuk menghadapi serbuan organisme berbahaya dari luar.