Biosecurity

Biosecurity merupakan konsep yang masih relatif baru, apalagi di Indonesia. FAO memperkenalkan ketahanan hayati sebagai paradigma baru dalam menghadapi ancaman hayati mulai ketika menerbitkan Biosecurity Toolkit pada 2003. Pada awal 2006, sebuah lokakarya dilaksanakan di Universitas Mahasaraswati, Denpasar, untuk membahas rencana penelitian mengenai pengelolaan biosecurity di Australia Utara dan Indonesia Timur sebagai bagian dari proyek penelitian yang dilaksanakan oleh Charles Darwin University dan didanai oleh Cooperative Research Centre for National Biosecurity, Australia. Ketika itu, biosecurity diindonesiakan secara kurang tepat menjadi keamanan hayati dan oleh I W. Mudita, sorang peserta lokakarya dari Universitas Nusa Cendana, diusulkan diganti dengan ketahanan hayati, analog dengan food security yang diindonesiakan menjadi ketahanan pangan. Pada saat International Summit on Biosecurity Management yang diselenggarakan pada pertengahan 2006 di Sanur, bali, istilah ketahanan hayati mulai digunakan secara resmi, meskipun masih juga ada peserta yang berseloroh menggunakan istilah biosatpam.

Menurut FAO (2007), ketahanan hayati merupakan pendekatan strategik dan terintegrasi yang mencakup kerangka kebijakan dan perundang-undangan untuk menganalisis risiko yang ditimbulkan oleh mahluk hidup terhadap manusia, kehidupan hewan dan tumbuhan, dan risiko yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Tujuan pokok ketahanan hayati adalah untuk mencegah, mengendalikan dan/atau mengelola risiko terhadap kelangsungan hidup dan kesehatan sesuai dengan sektor ketahanan hayati yang mencakup keamanan pangan, kesehatan ternak, kesehatan tanaman dari gangguan hama, penyakit, dan gulma, introduksi dan pelepasan organisme termodifikasi secara genetik, dan kelestarian lingkungan dari ancaman spesies asing invasif. Oleh karena itu, ketahanan hayati merupakan konsep holistik yang mempunyai relevansi langsung dengan keberlanjutan pertanian dan aspek luas yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat dan perlindungan lingkungan, termasuk perlindungan keanekaragaman hayati.

Prinsip dari ketahanan hayati adalah analisis risiko. Analisis risiko mencakup penilaian risiko, pengelolaan risiko, dan komunikasi risiko. Ketiga komponen analisis risiko ini sebenarnya saling berkaitan satu sama lain. Penilaian risiko diperlukan untuk tujuan melakukan pengelolaan dan untuk dapat menilai risiko secara konsisten antar instansi diperlukan komunikasi risiko. Pengelolaan risiko dilakukan dengan mengacu pada hasil penilaian risiko dan kegiatan maupun hasilnya perlu dikomunikasikan, bukan hanya antar instansi pemerintah, tetapi juga antara pemerintah dan masyarakat. Komunikasi risiko diperlukan untuk menyamakan persepsi dalam melakukan penilaian risiko dan untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan pengelolaan risiko.

Dalam konteks menghadapi risiko terhadap tanaman, ketahanan hayati dapat dipandang sebagai paradigma baru perlindungan tanaman. Paradigma baru ini dapat dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut dari pengelolaan hama terpadu yang berfokus sempit pada agroekosistem. Dengan ketahanan hayati, ancaman hayati tidak hanya dihadapi setelah sampai pada agroekosistem (pasca-batas), melainkan ketika masih di tempat asalnya (pra-batas) dan ketika melewati batas sebagai suatu kontinuum yang tidak saling terpisah. Perkembangan lanjut ini seiring dengan perubahan mendasar yang terjadi akhir-akhir ini, khususnya globalisasi dan perubahan iklim global. Globalisasi menyebabkan perpindahan hama, patogen, dan gulma dapat dengan mudah melintasi batas yang sebelumnya sulit dilalui dan perubahan iklim global menyebabkan distribusi hama, penyakit, dan gulma meluas ke arah kutup dan ke dataran tinggi dan pegunungan.

Ketahanan hayati juga mengisyaratkan bahwa perlindungan tanaman yang selama ini sangat berfokus pada aspek teknis perlu diperluas untuk mencakup aspek kebijakan, perundang-undangan, dan kemasyarakat. Menurut Prof. Ian Falk dari Charles Darwin University, Darwin, Australia, terlalu berfokus pada aspek teknis memang tidak salah, tetapi belum mencukupi. Prof. Andrew P. Vayda dari Rutgers University, New Jersey, AS, menyindir dengan mengatakan bahwa dalam menghadapi masalah perlindungan tanaman selama ini, kita terlalu berfokus pada kerumitan interaksi antar berbagai jenis mahluk hidup dalam agroekosistem dan melupakan kerumitan yang dihadapi oleh petani yang harus melakukan kegiatan perlindungan tanaman. Fokus yang diberikan hanya pada aspek teknis tersebut membuat kita lupa bahwa bahwa bencana dapat terjadi bukan karena teknologi pengendalian tidak tersedia, melainkan justeru karena kebijakan kurang tepat yang diambil dalam menghadapi ancaman hayati. Kebijakan kurang tepat dapat terjadi karena berbagai faktor, di antaranya adalah faktor politik kekuasaan dan faktor mengambil keuntungan sesaat.

Oleh karena ketahanan hayati menyentuh aspek kebijakan maka ketahanan hayati tidak bisa tidak terkait pula dengan tatakelola pemerintahan (governance). Beberapa aspek penting tatakelola pemerintahan adalah keterbukaan, kualitas pelayanan publik, dan akuntabilitas. Pemerintahan dengan tatakelola yang baik (good governance) seharusnya tidak menutup-nutupi ancaman hayati, melainkan justeru seharusnya berusaha mengkomunikasikan dengan seluruh pemangku kepentingan. Untuk mewujudkan tatakelola yang baik, pemerintah seharusnya melayani kebutuhan masyarakat untuk memperoleh informasi yang cepat mengenai ancaman hayati. Juga, dalam mewujudkan tatakelola yang baik akuntabilitas tidak hanya diberikan dalam bentuk keberhasilan meningkatkab produksi tetapi juga keberhasilan mengantisipasi masuknya ancaman hayati dari luar.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India