Bertani jeruk secara modern yang dianjurkan pemerintah mengharuskan penggunaan bibit okulasi dan pembudidayaan jeruk secara secara monokultur dengan jarak tanam teratur. Penggunaan bibit okulasi diperlukan untuk menjamin produksi dapat dicapai dalam waktu cepat dan kualitas hasil yang sesuai dengan baku mutu. Akan tetapi, introduksi teknologi produksi modern tersebut bukannya tidak menimbulkan masalah. Petani telah sangat lama terbiasa bertani secara tradisional dalam pola perladangan tebas bakar sehingga sulit dapat menerima teknologi pertanian intensif. Teknologi baru bukan tidak mungkin akan mengusik kedaulatan petani karena bibit okulasi harus dibeli dari pengusaha. Akan lebih celaka lagi kalau bibit yang diberi dari pengusaha tersebut ternyata tidak bebas dari OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan).
Seorang petani jeruk dari Desa Ajaobaki, katakanlah namanya Bapak Agus, menolak untuk berpartisipasi dalam program bertani jeruk secara modern tersebut. Alasan yang digunakan oleh Bapak Agus bukan seperti alasan di atas, melainkan alasan historis yang sebenarnya sangat masuk akal. Katanya, dahulu Bapak Agus sering mengikuti ayahnya berburu di kawasan hutan Gunung Mutis. Di dalam hutan Bapak Agus melihat berbagai jenis tumbuhan selalu tumbuh bersama-sama. Bahkan di kawasan hutan Gunung Mutis yang didominasi oleh pohon ampupu (Eucalyptus urophylla) Bapak Agus masih melihat jenis tumbuhan lain tumbuh bersama-sama dengan ampupu. Pengamatan yang dilakukan selama berada di dalam hutan mengajarkan kepada Bapak Agus bahwa dengan keadaan hutan seperti itu tidak pernah terjadi erosi dan mata air terus bertahan sepanjang tahun.
Maka ketika harus memulai bertani, Bapak Agus menerapkan pengalaman masa kecilnya berburu di hutan. Lahannya yang semula tandus bekas perladangan mulai ditanami dengan tanaman tahunan. Berbagai jenis pohon juga ditanamnya pada bagian-bagian tertentu dari kebunnya. Di sekitar rumah ditanam jeruk keprok soe bersama dengan jenis tanaman tertentu, umumnya yang tajuknya rendah dan perakarannya tidak dalam. Berbeda dengan program pemerintah yang mengharuskan menanam bibit okulasi, Bapak Agus justeru menanam jeruk dari biji. Alasannya, tanaman dari biji bisa tumbuh besar dan berumur panjang. "Jeruk keprok di rumah nenek saya masih hidup ketika nenek meninggal, padahal menurut nenek jeruk itu sudah ada sebelum nenek lahir".
Ketika ditanya bagaimana tanggapannya terhadap program jeruk pemerintah yang mengaruskan menanam bibit okulasi, Bapak Agus menjawab singkat, "Daripada saya harus melawan kata hati sendiri, saya memilih tidak ikut proyek. Dahulu saya ikut kelompok tani, tetapi karena sebagian anggota ingin ikut proyek maka saya putuskan keluar dari kelompok dan membentuk kelompok baru". Maka, Bapak Agus terus bertani jeruk secara selaras alam. Di bawah tajuk tanaman jeruknya terhampar tanaman talas yang tumbuh rapat. "Talas ini membantu tanah tetap lembab pada musim kemarau, tanah tidak tererosi pada musim hujan. Lagipula, talas menghasilkan umbi untuk dimakan dan sebagian untuk makanan babi".
Bapak Agus tidak mengerti apa itu CVPD. Bukan karena tidak pintar, tetapi karena pemerintah yang seharusnya memberitahu justeru tidak melakukannya. Pemerintah tidak pernah memberikan penyuluhan mengenai CVPD karena penyakit ini dinyatakan tidak ada di NTT. Karena dinyatakan tidak ada maka tidak mungkin mendapat anggaran untuk memberikan penyuluhan. Ibaratnya orang miskin, tidak mungkin mendapat RASKIN atau BLT bila tidak terdaftar sebagai penduduk. CVPD tidak mungkin memperoleh anggaran pengendalian sebelum dinyatakan ada. Tetapi bagi CVPD sendiri, diterima atau tidak bahwa dia ada, bukanlah terlalu menjadi masalah. Bagi CVPD sendiri, tidak diakui keberadaannya justeru lebih menguntungkan karena dengan demikian maka tidak dikendalikan. Dengan begitu maka CVPD dapat menular dan menyebar diam-diam.
Tanamn jeruk Bapak Agus tidak satupun ada yang menunjukkan gejala CVPD, meskipun bukan berarti sama sekali bebas penyakit. Karena lembab, diplodia basah menjadi masalah. Tidak menunjukkan gejala CVPD memang bukan berarti bebas CVPD, tetapi setidak-tidanya ini masih lebih baik daripada jeruk tetangganya yang ditanam dari bibit okulasi. Mengapa ini bisa terjadi? CVPD menular melalui dua cara, dengan perantaraan kutu loncat jeruk sebagai vektor dan dengan perantaraan mata tempel yang, siapa tahu, karena kurangnya pengawasan dapat saja diambil dari pohon induk berpenyakit CVPD. Kebun Bapak Agus terletak di dataran tinggi sehingga suhu udaranya di luar kisaran suhu untuk perkembangan kutu loncat jeruk. Karena itu, penularan CVPD yang paling mungkin adalah melalui mata tempel yang pembibitannya dilakukan di tempat dengan ketinggian lebih rendah. Bertani jeruk keprok secara selaras alam dengan menggunakan biji ternyata tidak seluruhnya jelek karena ternyata dapat mengurangi risiko tanaman tertular CVPD.