Be who you are and say what you feel because
those who mind don't matter and
those who matter don't mind.
Theodor Seuss Geisel,
penulis, penyair, dan kartunis Amerika
“Horton Hears a Who”
Di tengah-tengah sedang menulis disertasi mengenai “citrus biosecurity governance and community engagement in West Timor”, untuk mengusir jenuh, saya iseng-iseng berselancar di Internet guna mencari informasi mengenai CVPD di Indonesia. Pada mulanya topik disertasi saya adalah ketahanan hayati (biosecurity) jeruk secara umum, tetapi karena kasus yang saya temukan di lapangan maka lembaga penyandang beasiswa saya,
Cooperative Research Centre for National Plant Biosecurity (CRCNPB), mendorong saya untuk memfokuskan penelitian saya pada penyakit huanglongbing (HLB, yang dahulu dikenal sebagai citrus greening, dan di Indonesia sebagai CVPD,
Citrus Vein Phloem Degeneration). Maka, dengan niat mencari informasi mengenai penyakit ini, sampailah saya di situsnya Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro). Di situs tersebut, saya menemukan tayangan bahwa akan dilaksanakan Workshop Rencana Aksi Rehabilitasi Agribisnis Jeruk Keprok SoE yang Berkelanjutan untuk Subtitusi Impor di NTT. Sebagai orang yang sedang meneliti “jeruk keprok soe”, tentu saja saya senang bahwa memang banyak yang masih peduli terhadap nasib jeruk asli Kabupaten TTS dan Kabupaten TTU ini, yang selama ini dinyatakan baik-baik saja oleh pemerintah, meskipun kenyataan di lapangan jauh berbeda.
Namun setelah mengklik tautan (link) workshop tersebut, rasa senang saya terhadap “ada pihak yang peduli” menjadi berubah. Saya pun kemudian berpikir, peduli memang bisa mengandung banyak makna. Dahulu, ketika saya baru datang di Kupang, senior saya pernah bergurau, “Orang miskin berpikir besok apa makan. Sesudah keadaan ekonominya membaik, dia berpikir besok makan apa. Kemudian, setelah semakin mapan dia berpikir makan di mana. Setelah benar-benar mapan dia akan berpikir besok makan siapa”. Lalu apa hubungannya ini dengann lokakarya rencana aksi rehabilitasi “jeruk keprok soe” ini? Sepintas memang tidak ada, tetapi cobalah kita kaitkan dengan kata peduli tadi. Apakah benar-benar peduli kepada nasib “jeruk keprok soe” itu sendiri (makan “JKS” di mana), peduli terhadap petani yang membudidayakannya (apa masih bisa makan “JKS”), peduli kepada pihak-pihak yang memperoleh keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan “jeruk keprok soe” (makan bibit JKS milik siapa)?. Saya memang tidak apriori bahwa niat pihak-pihak yang menggagas lokakarya ini tentu sangat mulia, tetapi bukan tidak mungkin niat mulia ini lantas ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu yang menggunakan kewenangan (baca kekuasaan) untuk tujuan pribadi.
Penelitian saya pada mulanya saya rencanakan biasa-biasa saja, asal memenuhi syarat sebagai penelitian disertasi. Sebagai orang yang berlatar belakang pendidikan sains (ilmu-ilmu alam), saya pun menggunakan metodologi penelitian kuantitatif dengan paradigma positivisme bahwa kebenaran ilmiah haruslah netral. Kata teman-teman saya, kebenaran ilmiah itu harus obyektif. Tetapi setelah bolak-balik berkonsultasi dengan komisi pembimbing, saya akhirnya sadar bahwa kebenaran ilmiah yang obyektif itu, yang tidak memihak itu, menjadi sangat naif untuk digunakan meneliti “kaum tertindas” (kaum yang menjadi siapa dalam konteks besok makan siapa). Saya pun kemudian berusaha keras mempelajari paradigma penelitian kritis (critical inquiry) yang berbasis teori kritis (critical theory), sebelum akhirnya bisa merasakan, betapa pahit nasib petani dan penangkar bibit “jeruk keprok soe” itu. Bahkan, nama “jeruk keprok soe” sendiri menunjukkan, kesengajaan untuk tidak mengakomodasi semua pihak, karena di lapangan saya menemukan bahwa jeruk keprok yang sekarang dinakaman “jeruk keprok soe” ini, sebenarnya juga asli Kabupaten TTU, bukan hanya milik Kabupaten TTS yang beribukota Soe.
Ah, “Apalah arti sebuah nama? ("
What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet."), mungkin para positivis (penganut paradigma positivisme) akan mengatakan bahwa jeruk keprok soe, meskipun disebut dengan nama lain tetap jeruk keprok yang itu juga, mengutip dialog dalam pementasan drama Romeo and Juliet-nya Shakespeare. Tetapi bagi kaum tertindas, nama itu sungguh sangat penting karena oleh para penguasa dapat dijadikan instrumen untuk melakukan pilih kasih, instrumen diskriminasi. Seorang penangkar merangkap petani jeruk di Kabupaten TTU mengatakan kepada saya:
Biar sudah jeruk keprok soe hancur Pak, biar kami tanaman jeruk cina saja. Jeruk keprok soe itu Pak... diambil paksa dari kami. Aslinya sebenarnya jeruk cina, jeruk nenek moyang kami di sini juga, bukan hanya milik orang sana [orang di kabupaten TTS]. Tapi pemerintah suruh okulasi dan kemudian kasi nama soe. Karena itu Pak, biar sudah dia hancur....
Saya pun menelusuri sedikit sejarah mengenai asal muasal “jeruk keprok soe” ini, bukan hanya sejarah lisan dengan mewawancarai beberapa tokoh adat kemudian menuliskannya “diberikan sebagai hadiah oleh pedagang Cina kepada usif yang kemudian menanam di dekat sonaf di desa Tobu”, tetapi melengkapi dengan mencari bukti-bukti tertulis mengenai sebaran geografis jeruk dan proses penyebaran jeruk keprok. Nyatanya, tidak ada bukti kuat yang mendukung bahwa jeruk keprok yang ada di Timor Barat ini hanya ada di Kabupaten TTS (sehingga diberi embel-embel soe).
Di lapangan saya melakukan wawancara mendalam dengan petani jeruk, dengan penangkar, dengan tokoh adat, dengan unsur pemerintah. Mereka ini terdiri atas orang-orang petani jeruk, penangkar jeruk, dan para tokoh yang sudah bergumul dengan jeruk sejak sebelum jeruk keprok di Timor Barat ini “dipedulikan” (karena belum cukup bergengsi untuk dimakan di mana) oleh siapapun (pihak-pihak yang sekarang paling keras mengatakan peduli). Tentu saja nama mereka, atas nama penelitian kritis, tidak dapat saya sebutkan di sini karena dapat menjadi korban kekuasaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang penangkar:
Beta sebenarnya ingin buka semuanya Pak, biar semua terbuka [matanya] terhadap nasib yang kami [para penangkar] alami... Tapi kami hanya orang kecil Pak, kami ini ada yang atur, ada yang kendalikan ... yang datang dengan oto untuk ambil bibit kami dengan murah dan kemudian menjualnya untuk proyek dengan harga mahal...
Seorang tokoh adat di sebuah desa yang menjadi lokasi proyek pengembangan (dalam lokakarya menjadi rehabilitasi, yang berarti mengakui telah hancur sebelumnya) “jeruk keprok soe” mengeluh:
Sebenarnya kami sudah tidak mau lagi Pak...tidak mau tanam bibit okulasi... karena untuk apa kami tanam ... sebentar lagi mati juga sebelum menghasilkan apa-apa. Tapi Pak, mereka tidak akan dengar kami... karena yang datang itu orang pintar semua ... Pintar Pak, pintar bikin kami di kampung susah ... suruh tanam bibit okulasi tapi sebentar nanti semua juga mati. Mati Pak! Coba kalau bibit yang dibagikan dari dahulu itu hidup semua, bukan hanya daratan yang sudah penuh dengan jeruk, tapi laut juga...
Atas nama keseimbangan sumber informasi, saya juga mewawancarai pihak pemerintah. Sungguh sangat menyenangkan saya mendengarkan komentar beliau ini:
Kurang apa lagi Pak, kami ini? Kami sudah membuat berbagai program pengembangan jeruk keprok ini. Kami telah membentuk kelompok tani, juga kelompok penangkar. Semuanya kami danai...kami berikan uang... bantuan pemerintah. Kami sudah sejak lama membagikan anakan jeruk ke desa-desa, membagikan dengan cuma-cuma, mereka [petani] tinggal menanam saja. Tapi mereka kurang berusaha keras...
Tentu saja saya tidak serta merta setuju, sebab setelah melakukan wawancara dengan ketua dari sekian banyak kelompok yang telah dibentuk itu ternyata:
Benar Pak, kami menerima bantuan... tapi harus membeli bibit okulasi Pak ... jeruk keprok soe ini ... tidak bisa kami menanam jeruk cina [jeruk keprok yang sama tetapi ditanam langsung dari biji]. Banyak yang mati Pak ... tidak tahu karena apa ... kami hanya dikasi tahu penyakit busuk ... busuk diplodia ... disuruh oles batang jeruk dengan bubur ... apa itu ... bubur kalifornia ... ya Pak, bubur kalifornia ... tapi setelah kami oles, bukannya menjadi sembuh ... malah mati lebih cepat...
Mungkin saja petani ini tidak menggunakan bubur kalifornia ini dengan tepat. Tetapi mungin juga bubur kalifornia bukan yang seharusnya digunakan kalau penyakitnya ternyata bukan busuk diplodia, sebagaimana dikatakan oleh seorang pensiunan yang menekuni pekerjaan sebagai penangkar sudah puluhan tahun:
Kalau Bapak saja sudah dikatakan tidak berkompeten, apalagi saya Pak ... saya ini orang bodoh karena pendidikan saya tidak di bidang pertanian ... tapi saya sudah puluhan tahun menggeluti usaha penangkaran ini ... saya melihat itu Pak ... gejalanya memang CVPD sudah... Bukan kami yang harus membuktikan Pak... bukan Pak juga ... mereka itu yang punya kuasa ... punya kepentingan besar juga ... mereka bisa tes itu di lab, bukan di lab pemerintah, kalau berani di lab independen...
Saya hanya bisa mangut-mangut saja. Dalam hati saya merasa perih, Bapak ini masih terlalu polos. Dia tidak “sadar” bahwa kalau CVPD dinyatakan ada maka bisnis pembibitan “jeruk keprok soe” miliknya juga akan kena dampaknya, akan kekurangan pembeli. Sebab bila dinyatakan CVPD telah ada maka bibit okulasi “jeruk keprok soe” tidak bisa lagi disebarkan ke luar Timor Barat. Tentu saja dampak yang lebih besar akan dialami bukan oleh Bapak penangkar yang lugu ini, tetapi oleh Bapak-bapak pintar yang memanfaatkan si Bapak lugu untuk, dengan menggunakan wewenang (kekuasaan), dapat membeli bibit okulasi dengan harga murah dan kemudian menjualnya dengan harga mahal ke proyek yang dirancangnya untuk membagikan bibit ke desa-desa.
Maka ketika saya kembali ke kampus dan seorang mahasiswa menanyakan kepada saya mengenai CVPD ini, apa penyebabnya, bagaimana penyebarannya, dan seterusnya, saya hanya berkomentar pendek saja:
Apa gunanya kita pusing mengetahui penyebabnya, penularannya, toh setelah kalian tahu, kalian tidak bisa berbuat apa-apa. Karena pemerintah sudah mengatakan dengan tegas, bahwa “jeruk keprok soe” sampai kini [dan mungkin juga akan sampai kapan pun sepanjang itu hanya maunya] bebas CVPD...
Terlalu berlebihan? Tidak juga, sebab seorang pejabat dengan telah menyatakan di media masa bahwa dengan telah diterbitkannya peraturan daerah mengenai pelarangan impor bibit jeruk maka CVPD tidak mungkin datang ke Timor Barat ini. Seandainya saja
Candidatus Liberibacter asiaticus, si bakteri penyebab CVPD ini bisa membaca peraturan daerah ini, mungkin bisa benar juga mereka ada yang tidak berani datang. Tapi bukan tidak mungkin juga ada bakteri
Ca. Liberibacter asiaticus ini yang telah terlanjur masuk sebelum ada peraturan daerah. Atau, siapa tahu memang benar apa yang diungkapkan oleh seorang penangkar:
Pertama kali memang ketat Pak, diperiksa semua ... tapi lama-lama ... setelah jadi teman... semua jadi gampang Pak... asal jangan lupa kasi [memberikan] oleh-oleh untuk beli rokok...
Berbagi oleh-oleh di antara sesama teman memang tidak salah, tetapi kalau kemudian itu dilakukan di antara pohon jeruk yang semua merangas, pemandangannya tentu menjadi kurang elok (meski penangkar tadi menambahkan, “itu saya lakukan sebelum ada TAP MPR tentang anti KKN Pak”).
Lalu, bila peraturan daerah memang benar telah dapat mencegah masuknya bakteri Ca. Liberibacter asiaticus ini dari luar, apakah di dunia ini kita bisa sedemikian egois, melarang CVPD masuk dan kemudian tega menularkan ke daerah lain? Ah siapa yang pusing, “Besok makan siapa?” jauh lebih penting. Semua mungkin tidak lupa, ketika masih murid kita diajar peristiwa makan memakan dan kemudian ketika menjadi mahasiswa kita diajar rantai makanan atau jejaring makanan. Dan kini, di tayangan TV, orang getol berbicara jejaring kehidupan. Mahluk hidup memang harus makan untuk bisa bertahan hidup. Belalang sembah betina bukan hanya memangsa jenis serangga lain, tetapi jantan pasangannya sendiri langsung setelah melakukan hubungan jantan betina (kalau orang disebut hubungan suami istri). Di kalangan manusia, meskipun manusia sejatinya adalah juga omnivor alias pemakan segala macam, hanya nurani yang dapat membebaskan kita dari menjadi predator atas sesama. Mengikuti lokakarya memang penting, tetapi mungkin untuk bisa menyelamatkan nasib jeruk keprok di Timor Barat ini kita justeru lebih membutuhkan nurani. Selebihnya, mari kita lihat saja nanti, apakah “jeruk keprok soe” memang akan mengalami rehabilitasi atau justeru menerima nasib yang sama dengan apel.
Kepada penyelenggara dan peserta lokakarya, dari seberang lautan tempat saya belajar untuk meneliti dengan memberikan keberpihakan kepada yang tertindas, saya menyampaikan selamat melaksanakan lokakarya. Semoga dengan lokakarya berparadigma positivisme ini, atau juga mungkin pasca-positivisme, jeruk keprok asli Timor Barat dapat benar-benar dipedulikan. Kalau saya boleh menyarakan, sebagaimana seharusnya sebuah lokakarya, sebagaimana yang awal tahun ini saya ikuti di Malang dan Yogyakarta dengan dukungan ACIAR dan Crawford Fund, sebaiknya jangan hanya ngomong di hotel berbintang. Cobalah tengok ke lapangan dan ajak orang dari lapangan, baru kemudian ngomong. Kalau pun kemudian ke lapangan, jangan hanya ke desa-desa lokasi “proyek” seperti desa Ajaobaki, tetapi tengoklah juga ke desa Netpala, desa Kuanfatu, desa Basmuti, desa Fatumnutu, desa Lemon, desa Sallu ... Maka akan tampak bagaimana wajah “jeruk keprok soe” sesungguhnya supaya nanti hasil lokakarya benar-benar “berkelanjutan untuk subtitusi impor di NTT”, bukan untuk “substitusi kayu bakar” dari hutan menjadi dari pohon jeruk mati. Bukan untuk menyelamatkan hutan tentu saja, sebab hutan yang ada juga memang telah sejak jadul (jaman dahulu) gundul.